Skip to main content

Remaja Itu Butuh Ruang, Tapi Tetap Butuh Dipeluk

Cerita Ibu yang Lagi Belajar Nggak Panikan Saat Anak Mulai Jaga Jarak.

Dulu pas masih kecil, anakku itu nempel banget.
Peluk-peluk, manjat-manjat, cerita dari A sampai Z bahkan soal semut di halaman pun dibahas.
Kalau lagi nangis, tinggal gendong atau elus kepala, langsung reda.

Tapi sekarang?
Anak remajaku lebih banyak diem.
Kalau pulang sekolah langsung masuk kamar.
Kalau ditanya, jawabannya standar:
“Gak apa-apa, Bu.”
“Iya, capek aja.”
“Bentar ya…”

Dan di momen-momen kayak gitu, jujur...
hatiku rasanya kyaakkkk...
Kok kayak jauhan ya?
Kok rasanya beda banget sama dulu?
---
Awalnya aku panik.
Merasa gagal jadi ibu.
Langsung pengen nyamperin, nanya terus-terusan, bahkan ada niat ngecek HP (tapi batal karena sadar itu bukan solusi).

Tapi makin ke sini, aku pelan-pelan belajar satu hal penting:
anak remaja itu emang lagi butuh ruang.
Mereka lagi penuh proses di dalam diri.
Lagi belajar mengenal diri, mengelola emosi, sambil nyari-nyari jati diri.

Dan tugas kita, para ibu, bukan buat nempel terus kayak perangko,
tapi jadi tempat yang selalu bisa dituju tanpa tekanan.
---
Gak gampang sih.
Pernah suatu sore, dia pulang dengan wajah lelah banget.
Aku tahan diri buat gak nanya panjang lebar.
Cuma bilang, “Kalo butuh ngobrol, Ibu di dapur ya.”
Terus lanjut ngupas bawang sambil menenangkan hati sendiri.

Eh, beberapa jam kemudian...
Dia nyusul ke dapur, duduk sambil bilang, “Tadi ada drama di sekolah…”
Dan ceritanya pun ngalir sendiri.

Di situ aku belajar, kadang pelukan buat remaja itu nggak selalu berupa pelukan fisik.
Tapi kehadiran yang tenang.
Telinga yang gak buru-buru menyela.
Dan hati yang gak baperan kalo mereka lagi nggak pengen cerita.

---
Kadang mereka memang butuh menyendiri.
Tapi bukan berarti mereka gak butuh kita.
Mereka cuma gak mau didesak.
Maunya didekati dengan sabar, nggak pake interogasi,
tapi dengan vibe: "Aku di sini, kapan pun kamu siap."

Dan ya, ternyata mereka tetap butuh peluk.
Cuma bentuknya aja yang beda.
Bisa lewat teh anget yang kita taruh diam-diam di meja belajar,
atau lewat pertanyaan simpel kayak, “Kamu pengen dimasakin apa hari ini?”
---
Jadi buat ibu-ibu yang lagi bingung,
anak remaja kok tiba-tiba berubah...
Tenang, itu bukan cuma kamu.
Aku juga. Banyak dari kita juga.

Yang penting, jangan berhenti jadi pelabuhan.
Karena seberapa pun jauhnya mereka melangkah,
mereka butuh tahu bahwa rumah—dan pelukan kita—selalu terbuka.

Comments

Popular posts from this blog

Aku Berkarya, Mereka Belajar

Oleh: Seorang Ibu yang Berkarya dari Rumah Setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi, aku sudah berada di dapur. Menyiapkan sarapan, menyelesaikan cucian, merapikan rumah yang semalam sempat berantakan, dan tentu saja, menyambut tawa serta tangis anak-anakku. Hidup dalam rumah dengan lima anak, tiga remaja dan dua balita, membuat hari-hariku penuh ritme yang tak selalu bisa ditebak. Namun, di tengah riuh dan riweuh itu, ada satu hal yang tak pernah kulepas: niat untuk terus bertumbuh. Aku tak ingin hanya hadir sebagai ibu yang mengurus, tapi juga sebagai perempuan yang tetap berkarya. Karena aku percaya, ibu yang tumbuh akan membesarkan anak-anak yang juga tumbuh kuat. Tentu saja, bentuk karyaku tidak seperti para perempuan kantoran yang rapi dengan blazer. Tidak juga seperti content creator profesional yang bisa take video dengan studio proper. Karyaku sederhana—kadang berupa satu loyang kue putu ayu gula aren yang kubuat dengan sepenuh hati untuk dipesan tetangga. Kadang satu sesi re...

Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab Sejak Dini: Belajar dari Pengalaman Sehari-hari

Sebagai ibu dari lima anak, yang masing-masing punya karakter dan kebutuhan berbeda, saya sering merasa bahwa setiap hari adalah perjalanan belajar. Salah satu pelajaran besar yang saya coba terapkan di rumah adalah tentang tanggung jawab—sebuah nilai yang penting untuk ditanamkan sejak dini. Pernahkah Anda merasa seperti saya, yang kadang terlalu cepat memberi solusi kepada anak-anak? Saya sering merasa ingin menyelesaikan segala hal untuk mereka, baik itu mengerjakan PR, merapikan kamar, atau bahkan mengurus pertengkaran antar saudara. Saya melakukannya dengan niat baik, tentu saja—karena saya ingin mereka merasa nyaman dan tidak terbebani. Tapi, di balik itu semua, saya mulai menyadari bahwa saya justru sedang menghalangi mereka belajar satu hal yang sangat penting dalam hidup: tanggung jawab. Semakin saya merenung, semakin saya sadar bahwa saya, sebagai orang tua, berperan besar dalam menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak-anak. Tanggung jawab bukan hanya soal membantu orang lai...

Marah yang Nggak Keluar, Tapi Mengendap

Catatan Ibu Tentang Emosi yang Disimpan Diam-diam. Beberapa hari yang lalu, aku duduk di pojokan dapur sambil peluk lutut. Anak-anak lagi pada ribut di ruang tengah, si kecil nangis karena kakaknya rebutan mainan, dan aku... Aku cuma diam. Bukan karena aku gak peduli. Tapi karena aku merasa terlalu lelah untuk bicara. Terlalu capek untuk marah. Padahal dalam hati, rasanya udah kayak gunung mau meletus. Dan malamnya, saat semua anak udah tidur, aku masih kepikiran. Kenapa ya akhir-akhir ini aku lebih sering diam? Padahal dalam kepala, suara-suara marah itu terus berdengung. Kadang gak keluar dalam kata-kata, tapi muncul dalam bentuk dingin, sinis, atau tatapan yang bikin anak-anak diam ketakutan. Aku tumbuh di lingkungan yang percaya bahwa marah itu harus ditekan. Bahwa ibu yang baik itu sabar, gak pernah teriak, gak pernah capek. Tapi setelah jadi ibu, aku sadar: itu ideal yang terlalu berat buat dijalani terus-menerus. Karena kenyataannya, aku juga manusia. Aku bisa kesel, capek, jenu...