Skip to main content

Bukan Karena Nggak Sayang, Tapi Lagi Nggak Kuat

Ada masanya dalam hidup seorang ibu… di mana tubuh masih jalan, mulut masih jawab “iya, Nak”, “sebentar ya”, “bentar Ibu selesain ini dulu”—tapi hati terasa kosong. Lelah. Penuh, tapi bukan dengan rasa bahagia. Melainkan dengan tekanan, tuntutan, dan ekspektasi yang nggak selesai-selesai.

Itu juga yang sempat diriku alami.

Sebagai ibu dari lima anak, yang tiga udah remaja dan dua masih balita, hidup tuh nggak pernah benar-benar sepi. Tiap jam ada aja yang harus dikerjain, dipikirin, ditangani. Belum lagi peran lain di luar rumah. Ngurus rumah baca, komunitas, jualan makanan rumahan, kadang jadi kurir wakaf, plus berusaha tetap membersamai anak-anak belajar sambil nyari rezeki buat bantu kebutuhan rumah.

Dan di tengah semua itu, aku sempat ngerasa… kehilangan diriku sendiri.

Awalnya kupikir, “Ini biasa aja, namanya juga ibu.” Tapi lama-lama, aku mulai sadar ada yang nggak beres. Aku gampang tersinggung. Hal kecil bisa bikin meledak. Nemenin anak belajar rasanya kayak nahan bom waktu. Ngobrol sama suami pun cuma sekadarnya. Bahkan waktu ibuku nelpon nanyain kabar, aku cuma bisa jawab pendek-pendek sambil nahan tangis.

Sampai satu malam, saat anak-anak udah tidur, aku duduk sendirian di dapur. Badan capek, mata berat, tapi hati ini kayak lagi teriak kenceng. “Aku nggak kuat.” Kalimat itu akhirnya keluar juga.

Dan anehnya, saat kuakui itu... air mata keluar semua. Tangis yang kutahan selama ini akhirnya tumpah. Tangis yang bukan karena satu kejadian, tapi karena terlalu lama memikul semuanya sendiri tanpa jeda.

Bukan karena nggak sayang. Justru karena terlalu sayang, aku memaksa diriku terus ada buat semua orang. Sampai lupa bahwa aku juga butuh diisi. Butuh istirahat. Butuh didengar. Butuh dipeluk, bahkan oleh diriku sendiri.

Setelah malam itu, aku nggak langsung pulih. Tapi aku mulai belajar kasih ruang buat diriku sendiri. Nggak besar-besar banget. Tapi cukup untuk bernapas.

Aku mulai dengan tidur lebih awal, walau cuma beda 30 menit. Bikin journaling tipis-tipis setiap pagi, sekadar nulis “hari ini rasanya kayak apa.” Kubikin waktu untuk jalan kaki di sekitar rumah sambil dengerin lagu atau podcast ringan. Kadang aku matiin HP sejam aja, supaya bisa benar-benar hadir bareng anak-anak tanpa distraksi.

Kuhapus rasa bersalah saat harus bilang, “Ibu capek.” Kukatakan ke suami, “Aku pengen didengar, bukan cuma disuruh sabar.” Dan kupeluk anak-anak tanpa harus sambil mikir cucian udah kering apa belum.

Ternyata, saat aku mulai memulihkan diriku, semuanya ikut berubah. Bukan karena masalah hilang, tapi karena aku punya ruang untuk menata ulang. Aku bisa hadapi hari dengan hati yang lebih tenang. Aku bisa membersamai anak-anak bukan cuma dengan tangan yang bekerja, tapi juga hati yang hadir.

Dan dari situ, aku sadar, jadi ibu itu bukan tentang selalu kuat. Tapi tentang tahu kapan harus istirahat, dan berani bilang ke diri sendiri: kamu juga butuh dijaga.

Sebagai istri, aku belajar komunikasi lebih jujur. Nggak pakai kode-kode yang bikin bingung. Nggak lagi berharap suami paham tanpa diberi tahu. Tapi bilang langsung: “Aku lagi penat, boleh gantian jagain anak sebentar?”

Sebagai anak, aku juga mulai lebih terbuka. Waktu ibuku nanya kabar, aku jawab jujur, “Lagi capek banget, Mak. Tapi insya Allah besok lebih baik.” Ternyata, ibuku pun merasa lebih dekat saat aku nggak lagi pura-pura kuat.

Dan sebagai individu… aku belajar bahwa self-love itu bukan egois. Tapi penting. Karena dari sanalah cinta ke orang lain bisa tumbuh sehat.

Hari-hari ini, aku masih sering merasa lelah. Masih suka keteteran. Tapi bedanya, sekarang aku tahu kapan harus berhenti. Kapan harus bilang cukup. Dan kapan harus duduk sebentar untuk memeluk diri sendiri.

Karena bukan karena nggak sayang, tapi lagi nggak kuat. Dan itu... nggak apa-apa. Karena yang kuat pun butuh istirahat. Yang penuh cinta pun bisa kehabisan tenaga.

Jadi kalau kamu juga lagi merasa berat, jangan langsung merasa gagal.

Mungkin kamu cuma butuh jeda. Biar bisa pulih dan kembali... membersamai dengan hati.

Comments

Popular posts from this blog

Aku Berkarya, Mereka Belajar

Oleh: Seorang Ibu yang Berkarya dari Rumah Setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi, aku sudah berada di dapur. Menyiapkan sarapan, menyelesaikan cucian, merapikan rumah yang semalam sempat berantakan, dan tentu saja, menyambut tawa serta tangis anak-anakku. Hidup dalam rumah dengan lima anak, tiga remaja dan dua balita, membuat hari-hariku penuh ritme yang tak selalu bisa ditebak. Namun, di tengah riuh dan riweuh itu, ada satu hal yang tak pernah kulepas: niat untuk terus bertumbuh. Aku tak ingin hanya hadir sebagai ibu yang mengurus, tapi juga sebagai perempuan yang tetap berkarya. Karena aku percaya, ibu yang tumbuh akan membesarkan anak-anak yang juga tumbuh kuat. Tentu saja, bentuk karyaku tidak seperti para perempuan kantoran yang rapi dengan blazer. Tidak juga seperti content creator profesional yang bisa take video dengan studio proper. Karyaku sederhana—kadang berupa satu loyang kue putu ayu gula aren yang kubuat dengan sepenuh hati untuk dipesan tetangga. Kadang satu sesi re...

Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab Sejak Dini: Belajar dari Pengalaman Sehari-hari

Sebagai ibu dari lima anak, yang masing-masing punya karakter dan kebutuhan berbeda, saya sering merasa bahwa setiap hari adalah perjalanan belajar. Salah satu pelajaran besar yang saya coba terapkan di rumah adalah tentang tanggung jawab—sebuah nilai yang penting untuk ditanamkan sejak dini. Pernahkah Anda merasa seperti saya, yang kadang terlalu cepat memberi solusi kepada anak-anak? Saya sering merasa ingin menyelesaikan segala hal untuk mereka, baik itu mengerjakan PR, merapikan kamar, atau bahkan mengurus pertengkaran antar saudara. Saya melakukannya dengan niat baik, tentu saja—karena saya ingin mereka merasa nyaman dan tidak terbebani. Tapi, di balik itu semua, saya mulai menyadari bahwa saya justru sedang menghalangi mereka belajar satu hal yang sangat penting dalam hidup: tanggung jawab. Semakin saya merenung, semakin saya sadar bahwa saya, sebagai orang tua, berperan besar dalam menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak-anak. Tanggung jawab bukan hanya soal membantu orang lai...

Marah yang Nggak Keluar, Tapi Mengendap

Catatan Ibu Tentang Emosi yang Disimpan Diam-diam. Beberapa hari yang lalu, aku duduk di pojokan dapur sambil peluk lutut. Anak-anak lagi pada ribut di ruang tengah, si kecil nangis karena kakaknya rebutan mainan, dan aku... Aku cuma diam. Bukan karena aku gak peduli. Tapi karena aku merasa terlalu lelah untuk bicara. Terlalu capek untuk marah. Padahal dalam hati, rasanya udah kayak gunung mau meletus. Dan malamnya, saat semua anak udah tidur, aku masih kepikiran. Kenapa ya akhir-akhir ini aku lebih sering diam? Padahal dalam kepala, suara-suara marah itu terus berdengung. Kadang gak keluar dalam kata-kata, tapi muncul dalam bentuk dingin, sinis, atau tatapan yang bikin anak-anak diam ketakutan. Aku tumbuh di lingkungan yang percaya bahwa marah itu harus ditekan. Bahwa ibu yang baik itu sabar, gak pernah teriak, gak pernah capek. Tapi setelah jadi ibu, aku sadar: itu ideal yang terlalu berat buat dijalani terus-menerus. Karena kenyataannya, aku juga manusia. Aku bisa kesel, capek, jenu...