Waktu itu diriku lagi duduk santai di ruang tengah bareng anak sulung. Kami ngobrol soal kegiatan sekolah, lalu diriku nyeletuk, “Nak, kamu nggak mau ikut lomba menulis? Dulu Mama pengin banget jadi penulis, cuma nggak sempat kepegang. Siapa tahu kamu bisa nerusin…”
Dia cuma senyum tipis. Matanya nggak semangat, tapi sopan banget buat nggak langsung nolak. Tapi dari ekspresi itu, diriku tahu: dia nggak tertarik. Dan rasanya langsung kayak disadarkan—kok ya tega banget nitipin mimpi yang belum selesai ke anak sendiri?
Sebagai ibu dari tiga remaja, diriku makin sering ketemu momen-momen kayak gitu. Momen di mana ternyata, sebagai orang tua, kita bisa banget lupa batas antara mendampingi dan mengendalikan. Kadang niatnya tulus, pengin anak punya masa depan yang lebih baik. Tapi cara kita… sering kali tanpa sadar, justru menjadikan mereka perpanjangan tangan dari mimpi-mimpi kita yang gagal.
Padahal mereka bukan kita. Mereka bukan versi mini dari diri kita. Mereka bukan ‘lembar baru’ buat nulis ulang cerita hidup kita yang dulu penuh revisi. Mereka adalah manusia utuh, dengan kepala dan hati sendiri, dengan impian dan dunianya sendiri.
Zaman sudah beda, Mak. Kalau dulu kita disuruh sekolah rajin, les ini itu, ngikutin jalur “aman” demi masa depan cerah, sekarang anak-anak kita hidup di dunia yang penuh peluang dan pilihan. Mereka belajar dari internet, mereka bikin karya dari kamar, mereka dapet peluang bukan dari nilai rapor tapi dari portofolio digital. Cara mereka memandang hidup jauh lebih luas dari kita dulu yang nungguin sinetron sambil coret-coret buku diary.
Tapi justru karena mereka tumbuh di dunia yang nggak kita pahami sepenuhnya, kadang muncul rasa takut. Takut mereka salah pilih jalan, takut mereka jatuh, takut mereka nggak punya masa depan secerah yang kita bayangkan. Lalu akhirnya… kita tarik mereka ke jalur yang kita kenal. Kita arahkan mereka ke arah yang menurut kita aman. Kita anggap pilihan kita adalah yang terbaik—karena “Mama dulu pernah gagal, jangan sampai kamu ngalamin yang sama.”
Padahal ya… gagal kita bukan jaminan bahwa arah kita pasti benar. Dan masa depan mereka belum tentu harus jadi pengganti masa lalu kita.
Diriku jadi banyak merenung. Dulu banget, waktu masih muda, punya impian jadi penulis. Punya bayangan nulis buku, isi seminar, punya ruang baca kecil di pojok kampung. Tapi hidup berkata lain. Orang tua nggak izinin kuliah di sastra. Katanya, “Nanti kerja jadi apa?” Lalu mimpi itu digulung, diselipin di antara kewajiban dan kenyataan. Dan sekarang, waktu anak mulai remaja dan diriku mulai punya ruang sedikit untuk mikir lagi, eh… malah pengin mimpi itu diteruskan oleh mereka?
Mereka yang nggak pernah minta. Mereka yang mungkin bahkan nggak suka hal yang sama.
Dan jujur, itu nggak adil.
Anak-anak datang ke dunia ini bukan buat menebus gagal kita. Mereka hadir sebagai amanah, bukan sebagai perwakilan masa lalu kita. Mereka punya hak untuk memilih sendiri jalannya, bahkan kalau itu berarti jauh banget dari peta yang kita gambar.
Pernah suatu malam, anak kedua bilang dia pengin ambil jurusan yang diriku bahkan nggak tahu itu apa. Spontan rasanya pengin bilang, “Lah, itu bisa jadi kerjaan apa?” Tapi kemudian diriku tahan. Dengerin dulu. Dan ternyata, dia bisa jelasin dengan semangat luar biasa. Dia tahu dia pengin ke mana. Dia tahu jalannya. Walaupun belum tentu berhasil, tapi dia punya arah.
Dan di situlah peran kita sebagai orang tua: bukan jadi GPS yang maksa arah, tapi jadi teman duduk di kursi sebelah—yang bisa kasih peta, tapi tetap hormati pengemudinya.
Diriku belajar bahwa mendampingi anak remaja itu lebih banyak soal nahan lidah, buka telinga, dan belajar sabar. Mereka mungkin akan bikin keputusan yang nggak kita suka. Mereka mungkin akan gagal. Tapi kegagalan itu penting, supaya mereka belajar. Bukan supaya kita koreksi dengan kalimat, “Tuh kan, Mama bilang juga apa.”
Diriku juga belajar untuk pelan-pelan melepas. Tapi bukan berarti cuek. Bukan berarti menyerah. Melepas itu artinya percaya. Bahwa mereka bisa. Bahwa mereka layak dikasih ruang. Bahwa mereka akan tumbuh, walaupun dengan cara yang berbeda dari harapan kita.
Nggak mudah. Tapi siapa bilang jadi orang tua itu gampang?
Diriku masih suka nulis sekarang. Masih suka berbagi cerita, bikin catatan kecil tentang hidup, tentang jadi ibu, tentang mimpi yang dulu sempat tidur panjang. Tapi kali ini, diriku nggak lagi minta anak-anak buat nerusin. Karena ternyata… mimpi itu masih bisa dirawat sendiri, walaupun pelan-pelan, walaupun sedikit demi sedikit. Dan rasanya lebih ringan, lebih damai, karena kita nggak lagi nempelin beban itu ke punggung anak-anak.
Anak-anak kita, Mak… mereka bukan tempat kita menitipkan harapan lama. Mereka bukan jalan pintas buat “menang” di ronde kedua. Mereka adalah perjalanan baru—yang layak kita dukung, bukan kita kendalikan.
Kalau mereka nanti berhasil, kita bersyukur. Kalau mereka jatuh, kita rangkul. Tapi jangan pernah kita paksa mereka lari ke garis akhir yang bahkan bukan milik mereka.
Karena pada akhirnya, anak-anak bukan tentang mimpi siapa yang tercapai, tapi tentang tumbuhnya manusia yang merdeka, dicintai, dan tahu bahwa rumah akan selalu jadi tempat pulang—bukan tempat tuntutan.
Comments
Post a Comment