Dulu, diriku berpikir bahwa menjadi ibu adalah soal membimbing, mengarahkan, dan menyiapkan anak-anak agar tidak salah langkah. Maka sejak mereka kecil, segala keputusan penting kuambil sendiri. Mau pakai baju apa, makan jam berapa, main di mana, belajar pelajaran apa—semua kuatur sedetail mungkin.
Apalagi saat mereka masih balita dan sekolah dasar, rasanya diriku adalah pusat semesta mereka. Ucapan “kata Mama” seolah tak terbantahkan. Aku merasa peranku sebagai ibu berjalan baik-baik saja.
Tapi waktu berjalan. Anak-anak bertumbuh. Dan tiba-tiba, suasana di rumah pun berubah.
Anakku yang dulu manis dan menurut, kini mulai membantah. Yang dulu senang diajak ngobrol, sekarang lebih suka diam di kamar. Yang dulu mendengarkan nasihat dengan mata berbinar, sekarang mengangkat alis atau bahkan langsung bilang, “Mama nggak ngerti.”
Awalnya kupikir ini cuma fase. Pubertas, mungkin. Tapi makin lama, makin sering terjadi.
Semua nasihatku dianggap menggurui. Semua pertanyaanku terdengar seperti interogasi. Semua niat baikku malah dianggap sebagai bentuk kontrol.
Sampai suatu malam, setelah perdebatan panjang soal hal sepele, anakku berkata dengan suara lirih, “Mama tuh nggak pernah benar-benar dengerin aku.”
Kalimat itu menancap. Lama. Dalam.
Malam itu, setelah semua tidur, aku duduk sendiri di ruang makan. Sambil melipat cucian yang tak selesai-selesai, pikiranku melayang ke tahun-tahun awal jadi ibu.
Mungkin benar, selama ini diriku terlalu sibuk menjadi pengatur. Sibuk menyiapkan, sibuk mengarahkan, sampai lupa bahwa anak-anak, terutama yang sudah remaja, butuh ruang untuk didengar. Bukan hanya soal mereka ingin bicara. Tapi soal mereka ingin dipahami.
Sejak malam itu, aku mulai belajar lagi. Bukan dari buku parenting dulu, tapi dari caraku memperlakukan mereka sehari-hari.
Aku belajar menahan komentar saat mereka curhat. Belajar membiarkan mereka menyelesaikan cerita, meski menurutku sudah tahu ujungnya. Belajar mengucapkan, “Kamu pengin Mama kasih pendapat, atau cukup didengarkan?”
Dan ternyata, itu membuat perbedaan yang sangat besar.
Anak-anak remaja bukan proyek yang harus “jadi” dengan cepat. Mereka adalah individu yang sedang mencari bentuk, sedang menguji arah, dan sedang meneguhkan jati diri.
Mereka bukan kosong yang harus diisi, tapi ladang yang harus disirami dengan sabar.
Pola asuh reflektif mengajarkanku untuk berhenti sejenak. Untuk melihat bukan hanya apa yang mereka lakukan, tapi apa yang mereka rasakan di balik itu.
Saat mereka menarik diri, mungkin bukan karena mereka menjauh. Bisa jadi karena mereka tak yakin, apakah kita siap mendengar tanpa menghakimi.
Saat mereka membantah, mungkin bukan karena mereka ingin melawan. Tapi karena mereka ingin didengar dan dianggap cukup dewasa untuk punya suara.
Diriku tak malu mengakui, menjadi ibu adalah proses belajar seumur hidup. Tak peduli berapa banyak anak yang sudah dibesarkan, tak ada satu anak pun yang sama.
Dan di rumah ini, anak-anak bukan hanya bertumbuh. Aku pun bertumbuh.
Dulu aku menuntut mereka jadi anak baik. Sekarang aku belajar menjadi ibu yang lebih baik.
Dulu aku cepat tersinggung saat dibantah. Sekarang aku belajar menahan reaksi, dan mencoba memahami maksud di balik kata.
Dulu aku berpikir, “Mereka harus nurut.” Sekarang aku bertanya, “Apakah mereka merasa dimengerti?”
Hari ini, hubungan kami belum sempurna. Masih ada drama. Masih ada salah paham. Tapi satu hal yang mulai terasa hangat kembali adalah kedekatan.
Mereka mulai bercerita lagi. Mulai tertawa di meja makan. Mulai berkata, “Mama, aku butuh cerita sebentar.”
Dan aku tahu, ini bukan hasil dari ceramah panjang. Tapi dari kesediaan diriku untuk hadir dan mendengar.
Pola asuh reflektif bukan tentang teknik, tapi tentang hati. Tentang kerendahan hati seorang ibu yang mau mengakui bahwa kadang, anak-anak pun bisa menjadi guru terbaik dalam hidupnya.
Mereka tak butuh ibu yang tahu segalanya. Mereka hanya butuh ibu yang bersedia tumbuh bersama.
Comments
Post a Comment