Skip to main content

Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab Sejak Dini: Belajar dari Pengalaman Sehari-hari

Sebagai ibu dari lima anak, yang masing-masing punya karakter dan kebutuhan berbeda, saya sering merasa bahwa setiap hari adalah perjalanan belajar. Salah satu pelajaran besar yang saya coba terapkan di rumah adalah tentang tanggung jawab—sebuah nilai yang penting untuk ditanamkan sejak dini.
Pernahkah Anda merasa seperti saya, yang kadang terlalu cepat memberi solusi kepada anak-anak? Saya sering merasa ingin menyelesaikan segala hal untuk mereka, baik itu mengerjakan PR, merapikan kamar, atau bahkan mengurus pertengkaran antar saudara. Saya melakukannya dengan niat baik, tentu saja—karena saya ingin mereka merasa nyaman dan tidak terbebani. Tapi, di balik itu semua, saya mulai menyadari bahwa saya justru sedang menghalangi mereka belajar satu hal yang sangat penting dalam hidup: tanggung jawab.

Semakin saya merenung, semakin saya sadar bahwa saya, sebagai orang tua, berperan besar dalam menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak-anak. Tanggung jawab bukan hanya soal membantu orang lain atau mengerjakan tugas. Itu tentang memahami konsekuensi dari setiap tindakan, belajar untuk membuat pilihan, dan kemudian menerima hasilnya. Dan pelajaran ini, bagi saya, dimulai dari hal-hal sederhana yang sering kita anggap remeh.

Misalnya, merapikan mainan setelah bermain. Dulu, saya sering melakukannya sendiri karena merasa lebih cepat dan mudah. “Lagipula, mereka masih kecil,” pikir saya. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa tindakan ini, meskipun kecil, adalah kesempatan emas bagi mereka untuk belajar tentang kedisiplinan dan komitmen. Saya mulai meminta mereka untuk merapikan mainan mereka sendiri, dengan cara yang menyenangkan, misalnya dengan membuatnya jadi sebuah permainan. “Ayo, siapa yang bisa merapikan lebih cepat?” Ternyata, mereka menyukainya dan mulai terbiasa.

Namun, proses ini tidak selalu mulus. Ada kalanya anak-anak merasa malas atau tidak ingin melakukan tugas yang diberikan. Saya sempat merasa frustrasi, berpikir bahwa mungkin saya terlalu keras atau tidak cukup sabar. Tapi, lama kelamaan, saya mulai memahami bahwa tugas-tugas kecil itu adalah bagian dari proses belajar mereka. Dan yang lebih penting lagi, saya belajar untuk memberi mereka ruang untuk merasa kecewa atau frustasi, tanpa harus langsung turun tangan menyelesaikan semuanya.

Saya mulai mengajarkan mereka bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya. Misalnya, jika mereka tidak merapikan mainan, mereka tidak bisa bermain lagi sampai semuanya tertata rapi. Jika mereka tidak menyelesaikan tugas sekolah tepat waktu, mereka harus menanggung akibatnya, seperti tidak bisa bermain atau menonton TV. Tapi, di balik semua itu, saya juga berusaha menunjukkan bahwa kegagalan itu bukan akhir dari segalanya. Mereka bisa belajar dari setiap kesalahan dan berusaha lebih baik ke depannya. Proses ini membuat mereka merasa lebih bertanggung jawab atas pilihan-pilihan mereka.

Saya juga mulai melibatkan anak-anak dalam pekerjaan rumah yang lebih besar. Salah satunya adalah dengan memberi mereka tugas sederhana seperti membantu menyiapkan meja makan atau merapikan dapur. Saya menjelaskan bahwa rumah ini adalah tempat bersama dan setiap orang harus berperan untuk menjaga kebersihan dan kerapian. Mereka mulai merasa bangga ketika melihat hasil kerja keras mereka, bahkan si bungsu yang masih balita pun sudah mulai terbiasa menaruh sendok dan garpu ke dalam tempat cucian.

Tentu, tidak selalu berjalan lancar. Ada kalanya mereka malas, atau bahkan marah ketika disuruh beres-beres. Namun, saya belajar untuk tidak langsung menghakimi mereka. Sebaliknya, saya menggunakan kesempatan itu untuk mengajarkan mereka tentang kesabaran dan ketekunan. Saya juga belajar untuk lebih empatik terhadap perasaan mereka, mengakui bahwa setiap orang punya hari yang tidak selalu sempurna. Saya sering berkata, "It's okay to feel tired or grumpy, but we need to finish what we started." Melalui kata-kata sederhana itu, mereka belajar untuk menerima bahwa hidup memang penuh dengan hal-hal yang harus dilakukan, dan itu bukanlah beban, melainkan bagian dari kehidupan.

Saya juga berusaha untuk selalu menjadi contoh dalam hal tanggung jawab. Tidak hanya soal pekerjaan rumah, tapi juga bagaimana saya mengelola waktu dan emosi saya sendiri. Misalnya, ketika saya merasa lelah atau cemas, saya berusaha untuk tetap tenang dan tidak meledak-ledak. Saya ingin mereka belajar bahwa tanggung jawab tidak hanya soal pekerjaan, tetapi juga bagaimana kita mengelola perasaan dan memilih bagaimana bereaksi terhadap situasi sulit.

Pernah suatu ketika anak pertama saya, yang sudah remaja, mengingatkan adiknya untuk merapikan kamar mereka. "Ayo, jangan lupa merapikan kamar. Kalau kita tidak bertanggung jawab, siapa lagi?" katanya dengan percaya diri. Mendengar kata-kata itu, hati saya merasa terharu. Ternyata, apa yang saya coba tanamkan selama ini sudah mulai mereka serap dan aplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ini adalah bukti nyata bahwa rasa tanggung jawab bisa dipelajari, meski melalui langkah kecil dan kadang-kadang sulit.

Tentu saja, saya tahu bahwa proses ini belum selesai. Rasa tanggung jawab bukan sesuatu yang bisa dicapai dalam semalam. Ini adalah perjalanan panjang yang melibatkan banyak kesabaran, pengertian, dan konsistensi. Namun, setiap langkah kecil yang saya lihat dalam diri anak-anak saya memberikan rasa bangga dan harapan. Saya berharap, dengan menanamkan nilai tanggung jawab sejak dini, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, peduli, dan mampu mengatasi tantangan hidup dengan kepala tegak.

Comments

Popular posts from this blog

Aku Berkarya, Mereka Belajar

Oleh: Seorang Ibu yang Berkarya dari Rumah Setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi, aku sudah berada di dapur. Menyiapkan sarapan, menyelesaikan cucian, merapikan rumah yang semalam sempat berantakan, dan tentu saja, menyambut tawa serta tangis anak-anakku. Hidup dalam rumah dengan lima anak, tiga remaja dan dua balita, membuat hari-hariku penuh ritme yang tak selalu bisa ditebak. Namun, di tengah riuh dan riweuh itu, ada satu hal yang tak pernah kulepas: niat untuk terus bertumbuh. Aku tak ingin hanya hadir sebagai ibu yang mengurus, tapi juga sebagai perempuan yang tetap berkarya. Karena aku percaya, ibu yang tumbuh akan membesarkan anak-anak yang juga tumbuh kuat. Tentu saja, bentuk karyaku tidak seperti para perempuan kantoran yang rapi dengan blazer. Tidak juga seperti content creator profesional yang bisa take video dengan studio proper. Karyaku sederhana—kadang berupa satu loyang kue putu ayu gula aren yang kubuat dengan sepenuh hati untuk dipesan tetangga. Kadang satu sesi re...

Marah yang Nggak Keluar, Tapi Mengendap

Catatan Ibu Tentang Emosi yang Disimpan Diam-diam. Beberapa hari yang lalu, aku duduk di pojokan dapur sambil peluk lutut. Anak-anak lagi pada ribut di ruang tengah, si kecil nangis karena kakaknya rebutan mainan, dan aku... Aku cuma diam. Bukan karena aku gak peduli. Tapi karena aku merasa terlalu lelah untuk bicara. Terlalu capek untuk marah. Padahal dalam hati, rasanya udah kayak gunung mau meletus. Dan malamnya, saat semua anak udah tidur, aku masih kepikiran. Kenapa ya akhir-akhir ini aku lebih sering diam? Padahal dalam kepala, suara-suara marah itu terus berdengung. Kadang gak keluar dalam kata-kata, tapi muncul dalam bentuk dingin, sinis, atau tatapan yang bikin anak-anak diam ketakutan. Aku tumbuh di lingkungan yang percaya bahwa marah itu harus ditekan. Bahwa ibu yang baik itu sabar, gak pernah teriak, gak pernah capek. Tapi setelah jadi ibu, aku sadar: itu ideal yang terlalu berat buat dijalani terus-menerus. Karena kenyataannya, aku juga manusia. Aku bisa kesel, capek, jenu...