Skip to main content

Kalau Mereka Salah, Masihkah Kita Jadi Tempat Pulang?

Pernah nggak sih, duduk sendiri di pojok kamar, habis marah, habis nangis, sambil mikir…
“Ini bener nggak ya cara diriku mendidik anak-anak?”

Sore itu, satu dari anak remajaku yang biasanya paling pendiam berani bantah. Nada suaranya naik, matanya penuh amarah, dan kalimatnya… menusuk.

Padahal cuma karena diriku bilang, "Coba dikurangin dulu main HP-nya."
Sesimpel itu.

Tapi buat dia, itu kayak tamparan.
Dan buat diriku… rasanya kayak ditinggal di tengah jalan. Kok bisa ya, anak yang dulu tiap malam minta dibacain dongeng, sekarang ngomong gitu?

Malamnya, dia nggak tidur di kamar.
Milih tidur di ruang tamu, pura-pura capek.
Tapi matanya keliatan… basah.

Dan diriku?
Diam-diam cuma bisa duduk di sudut dapur, nangis. Nggak tahu harus mulai dari mana. Mau minta maaf, gengsi. Mau dinasehatin, takut makin jauh.

Tapi satu kalimat muncul terus di kepala:
"Kalau mereka salah, masihkah kita jadi tempat pulang?"

Kita ini ibu, tapi bukan berarti nggak punya rasa kecewa. Apalagi kalau anak yang disayang dari kecil, yang kita bela mati-matian, tiba-tiba berubah. Nggak nurut, ngelawan, bikin salah, bahkan nyakitin hati.

Tapi kalau di saat mereka jatuh, kita juga ikut ninggalin…Terus siapa yang mereka punya?

Anak-anak itu bukan malaikat.
Mereka bukan robot. Mereka manusia yang lagi tumbuh, yang lagi cari jati diri, dan sering kali… salah langkah.

Bisa jadi salah milih teman.
Salah ambil keputusan.
Salah bicara ke kita, bahkan salah paham sama dunia.

Tapi yang sering dilupain adalah…
Salah itu bagian dari proses tumbuh.

Dan kita, sebagai ibu, punya dua pilihan:
Jadi juri yang selalu nuntut mereka sempurna, atau jadi rumah yang selalu siap nerima mereka kembali meski dengan luka dan air mata.

Waktu diriku kecil, pernah juga bikin salah.
Pernah dimarahin, pernah kabur, pernah nangis diam-diam di pojokan kamar.

Tapi waktu itu ada satu hal yang bikin hati tenang:
Mama selalu ada.
Nggak ngomel panjang-panjang, tapi selalu nyediain makanan.
Nggak peluk sambil drama, tapi matanya bilang, "Mama paham kamu lagi bingung."

Sekarang, giliran diriku yang jadi ibu, kenapa justru kadang lupa pelajaran itu?

Ada satu malam yang diriku nggak akan lupa. Waktu itu anakku pulang larut. Diriku udah nyiapin segala bentuk ceramah dari bab ‘keselamatan’ sampai ‘harga diri perempuan’ (karena dia anak perempuan).

Tapi waktu dia buka pintu dan masuk, mukanya penuh rasa takut. Dia langsung peluk diriku, tanpa suara. Cuma nangis.

Katanya, tadi dia ketemu orang yang nggak sopan di jalan. Dia buru-buru pulang. Dan dia sadar… rumah adalah tempat paling aman.

Waktu itu, semua ceramah di kepala langsung buyar. Yang keluar cuma satu kalimat, “Alhamdulillah kamu pulang, Nak.”

Kadang kita terlalu sibuk mau menyuarakan kebenaran,
sampai lupa:
Anak-anak itu nggak butuh kita untuk selalu benar. Mereka butuh kita untuk selalu hadir.

"Kalau mereka salah, masihkah kita jadi tempat pulang?"

Jawabannya: harusnya iya.

Bukan berarti kita membenarkan kesalahan mereka. Tapi kita belajar memisahkan antara perilaku yang salah dengan anak yang sedang belajar.

Mereka bukan buruk.
Mereka hanya butuh ruang untuk gagal.
Dan rumah adalah satu-satunya tempat yang mestinya nggak pernah nutup pintu buat mereka.

Tentu capek.
Tentu kecewa.
Kadang sedihnya tuh sampai pengen nyerah.

Tapi siapa lagi yang bisa sabar kalau bukan ibu? Siapa lagi yang bisa peluk sambil nangis bareng, tanpa takut dibilang lemah?

Anakku yang remaja itu, sekarang lagi suka diam. Tapi dia selalu ninggalin satu kata di sticky note tiap pagi: “Mi, makasih ya.”

Kadang ditaruh di meja makan. Kadang ditempel di pintu kulkas. Kadang cuma berbentuk gambar love.

Mungkin dia belum bisa minta maaf langsung. Tapi dia tahu… dia masih punya rumah. Dan diriku masih di sini.

Ibu-ibu…
Mungkin hari ini anakmu lagi bikin salah.
Lagi jauh, lagi keras kepala, lagi nggak ngerti kamu.

Tapi jangan buru-buru nyerah.
Jangan buru-buru nutup pintu.

Karena bisa jadi… mereka lagi berjuang buat pulang. Dan kamu adalah satu-satunya pelabuhan yang mereka percaya.

Kalau mereka salah, masihkah kita jadi tempat pulang?

Jawabannya, iya.
Karena cinta seorang ibu bukan soal siapa yang benar atau salah.Tapi tentang siapa yang tetap ada meski hati kita retak-retak tak terlihat.

Dan kelak, saat mereka dewasa, mereka akan bilang,
“Dulu aku sering bikin salah… tapi ibuku selalu jadi tempat pulang.”

Dan itulah yang akan jadi pahala paling indah, yang nggak tertulis di rapor sekolah, tapi tertanam di hati anak-anak selamanya.

Comments

Popular posts from this blog

Aku Berkarya, Mereka Belajar

Oleh: Seorang Ibu yang Berkarya dari Rumah Setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi, aku sudah berada di dapur. Menyiapkan sarapan, menyelesaikan cucian, merapikan rumah yang semalam sempat berantakan, dan tentu saja, menyambut tawa serta tangis anak-anakku. Hidup dalam rumah dengan lima anak, tiga remaja dan dua balita, membuat hari-hariku penuh ritme yang tak selalu bisa ditebak. Namun, di tengah riuh dan riweuh itu, ada satu hal yang tak pernah kulepas: niat untuk terus bertumbuh. Aku tak ingin hanya hadir sebagai ibu yang mengurus, tapi juga sebagai perempuan yang tetap berkarya. Karena aku percaya, ibu yang tumbuh akan membesarkan anak-anak yang juga tumbuh kuat. Tentu saja, bentuk karyaku tidak seperti para perempuan kantoran yang rapi dengan blazer. Tidak juga seperti content creator profesional yang bisa take video dengan studio proper. Karyaku sederhana—kadang berupa satu loyang kue putu ayu gula aren yang kubuat dengan sepenuh hati untuk dipesan tetangga. Kadang satu sesi re...

Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab Sejak Dini: Belajar dari Pengalaman Sehari-hari

Sebagai ibu dari lima anak, yang masing-masing punya karakter dan kebutuhan berbeda, saya sering merasa bahwa setiap hari adalah perjalanan belajar. Salah satu pelajaran besar yang saya coba terapkan di rumah adalah tentang tanggung jawab—sebuah nilai yang penting untuk ditanamkan sejak dini. Pernahkah Anda merasa seperti saya, yang kadang terlalu cepat memberi solusi kepada anak-anak? Saya sering merasa ingin menyelesaikan segala hal untuk mereka, baik itu mengerjakan PR, merapikan kamar, atau bahkan mengurus pertengkaran antar saudara. Saya melakukannya dengan niat baik, tentu saja—karena saya ingin mereka merasa nyaman dan tidak terbebani. Tapi, di balik itu semua, saya mulai menyadari bahwa saya justru sedang menghalangi mereka belajar satu hal yang sangat penting dalam hidup: tanggung jawab. Semakin saya merenung, semakin saya sadar bahwa saya, sebagai orang tua, berperan besar dalam menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak-anak. Tanggung jawab bukan hanya soal membantu orang lai...

Marah yang Nggak Keluar, Tapi Mengendap

Catatan Ibu Tentang Emosi yang Disimpan Diam-diam. Beberapa hari yang lalu, aku duduk di pojokan dapur sambil peluk lutut. Anak-anak lagi pada ribut di ruang tengah, si kecil nangis karena kakaknya rebutan mainan, dan aku... Aku cuma diam. Bukan karena aku gak peduli. Tapi karena aku merasa terlalu lelah untuk bicara. Terlalu capek untuk marah. Padahal dalam hati, rasanya udah kayak gunung mau meletus. Dan malamnya, saat semua anak udah tidur, aku masih kepikiran. Kenapa ya akhir-akhir ini aku lebih sering diam? Padahal dalam kepala, suara-suara marah itu terus berdengung. Kadang gak keluar dalam kata-kata, tapi muncul dalam bentuk dingin, sinis, atau tatapan yang bikin anak-anak diam ketakutan. Aku tumbuh di lingkungan yang percaya bahwa marah itu harus ditekan. Bahwa ibu yang baik itu sabar, gak pernah teriak, gak pernah capek. Tapi setelah jadi ibu, aku sadar: itu ideal yang terlalu berat buat dijalani terus-menerus. Karena kenyataannya, aku juga manusia. Aku bisa kesel, capek, jenu...