Skip to main content

Aku Berkarya, Mereka Belajar

Oleh: Seorang Ibu yang Berkarya dari Rumah

Setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi, aku sudah berada di dapur. Menyiapkan sarapan, menyelesaikan cucian, merapikan rumah yang semalam sempat berantakan, dan tentu saja, menyambut tawa serta tangis anak-anakku. Hidup dalam rumah dengan lima anak, tiga remaja dan dua balita, membuat hari-hariku penuh ritme yang tak selalu bisa ditebak.

Namun, di tengah riuh dan riweuh itu, ada satu hal yang tak pernah kulepas: niat untuk terus bertumbuh. Aku tak ingin hanya hadir sebagai ibu yang mengurus, tapi juga sebagai perempuan yang tetap berkarya. Karena aku percaya, ibu yang tumbuh akan membesarkan anak-anak yang juga tumbuh kuat.

Tentu saja, bentuk karyaku tidak seperti para perempuan kantoran yang rapi dengan blazer. Tidak juga seperti content creator profesional yang bisa take video dengan studio proper. Karyaku sederhana—kadang berupa satu loyang kue putu ayu gula aren yang kubuat dengan sepenuh hati untuk dipesan tetangga. Kadang satu sesi read aloud di rumah baca yang kami kelola. Kadang hanya satu konten kecil di media sosial yang kutulis sambil menyuapi si kecil yang sedang GTM.

Tapi di balik hal-hal kecil itu, aku sadar… ada mata kecil yang memperhatikan. Ada telinga kecil yang mendengar. Ada hati kecil yang ikut belajar.


---

Mereka—anak-anakku—tidak selalu mengucapkan kekaguman. Tapi mereka melihat. Mereka tahu bahwa ibunya bangun lebih pagi saat ada pesanan, meskipun semalam tidur larut karena menemani adik mereka rewel. Mereka menyaksikan bagaimana ibunya menyisihkan sebagian hasil jualan untuk membeli beras dan lauk sedekah Jumat. Mereka mendengar bisik-bisikku saat berbincang dengan pelanggan, mendengar suara tertahanku saat pesanan dibatalkan tiba-tiba.

Dan di balik semua itu, aku tahu… mereka sedang belajar.

Mereka belajar bahwa uang tidak turun dari langit. Bahwa rezeki itu dijemput, bukan ditunggu. Bahwa ada kegigihan dalam setiap kue yang dibungkus, dalam setiap bahan yang dibeli dengan uang pas-pasan. Bahwa kerja keras itu bukan sekadar slogan, tapi rutinitas yang mereka lihat sendiri.

Aku pernah ditanya oleh seorang teman, “Apa nggak capek, Mak, harus urus rumah sambil jualan juga?”
Jujur, capek. Sangat capek. Tapi aku tidak ingin menghilang dari diriku sendiri hanya karena menjadi ibu. Aku ingin anak-anakku melihat bahwa perempuan itu tetap bisa berdaya, meski dari rumah. Bahwa berkarya itu bukan hanya tentang penghasilan, tapi juga tentang makna, tentang proses, dan tentang nilai yang bisa diwariskan.

Karena saat aku memilih untuk tetap berkarya, sebenarnya aku sedang mengajari mereka tentang tanggung jawab. Bukan dengan ceramah, tapi lewat tindakan sehari-hari.


---

Suatu malam, anak keduaku, yang usianya menjelang remaja, berkata pelan saat kami sedang membereskan loyang kue.
“Umi tuh kalau udah janji ke orang, pasti dikerjain. Walaupun capek.”
Aku menatapnya, terdiam sejenak. Lalu tersenyum. Ia tak sadar bahwa kalimat itu begitu menguatkanku. Bahwa pekerjaanku bukan hanya membuat kue, tapi juga menanam nilai—lewat hal-hal kecil yang mereka lihat setiap hari.

Mereka tahu, ibunya tetap menyapa pelanggan dengan ramah meski habis dimarahi anak. Mereka lihat aku mengatur napas dan menenangkan diri sebelum membalas chat yang bernada tinggi. Dari situ, mereka belajar mengelola emosi.

Dan ketika aku bilang, “Yuk, kita bagi dua porsi buat sedekah Jumat ya,” mereka tidak lagi bertanya kenapa. Karena mereka tahu, memberi itu bukan karena kita lebih, tapi karena kita peduli.


---

Ada masanya aku merasa bersalah. Terutama saat pekerjaan rumah tak selesai sempurna, saat anak-anak rebutan dan aku sedang membalas orderan, atau saat bayi menangis di tengah live jualan. Aku pernah merasa: mungkin aku terlalu sibuk. Mungkin mereka merasa kurang diperhatikan.

Tapi nyatanya, anak-anak tidak menuntut sempurna. Mereka hanya butuh kehadiran yang jujur. Butuh melihat bahwa ibunya juga manusia, yang lelah, yang belajar, dan yang tetap memilih hadir meski serba terbatas.

Aku ingin mereka tahu bahwa menjadi ibu tidak berarti berhenti menjadi diri sendiri. Bahwa memiliki mimpi bukan sesuatu yang egois. Justru, lewat mimpi-mimpiku yang kurawat dengan setia, mereka belajar berani memelihara mimpi mereka sendiri.

Dan mereka melihat, betapa cinta itu bukan hanya peluk dan cium. Tapi juga kesungguhan dalam menyelesaikan pesanan. Konsistensi dalam menyediakan makanan. Ketekunan dalam menjawab komentar edukatif di sosial media.


---

Kini, rumah kami tidak hanya jadi tempat tumbuh anak-anak, tapi juga ladang belajar hidup. Tempat mereka mengenal tanggung jawab, menyaksikan kerja keras, memahami keikhlasan, dan melihat bahwa nilai itu bisa ditanam lewat keseharian.

Aku percaya, pendidikan karakter tidak hanya lewat buku teori. Tapi juga lewat rutinitas. Lewat obrolan saat mencuci piring. Lewat percakapan sambil mengemas kue. Lewat diam-diam mereka memperhatikan bagaimana ibunya menghadapi dunia.

Dan karena itulah aku tetap berkarya. Bukan karena tidak cukup sibuk, tapi karena aku tahu: saat aku berkarya, mereka belajar.

Belajar bahwa hidup itu soal pilihan. Soal usaha. Soal tanggung jawab.

Belajar bahwa cinta bukan hanya tentang apa yang kita beri, tapi juga tentang bagaimana kita memilih untuk tetap hadir—dalam keterbatasan, dengan ketulusan.


---

Mungkin suatu hari nanti, mereka tak akan mengingat berapa banyak kue yang kujual. Tapi aku berharap, mereka akan mengingat: ibuku tetap berkarya, meski dari rumah. Ibuku tetap belajar, tetap semangat, tetap tersenyum. Dan dari sanalah, mereka tumbuh menjadi manusia yang tahu apa artinya bertanggung jawab dan mencintai proses.

Karena sejatinya, saat seorang ibu memilih untuk tetap berkarya sambil membersamai, ia sedang menanamkan nilai-nilai yang tak bisa dibeli dengan uang. Nilai yang lahir dari contoh, bukan sekadar kata.

Aku berkarya, mereka belajar. Itulah bekal paling tulus yang ingin kutinggalkan kelak.

Comments

Popular posts from this blog

Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab Sejak Dini: Belajar dari Pengalaman Sehari-hari

Sebagai ibu dari lima anak, yang masing-masing punya karakter dan kebutuhan berbeda, saya sering merasa bahwa setiap hari adalah perjalanan belajar. Salah satu pelajaran besar yang saya coba terapkan di rumah adalah tentang tanggung jawab—sebuah nilai yang penting untuk ditanamkan sejak dini. Pernahkah Anda merasa seperti saya, yang kadang terlalu cepat memberi solusi kepada anak-anak? Saya sering merasa ingin menyelesaikan segala hal untuk mereka, baik itu mengerjakan PR, merapikan kamar, atau bahkan mengurus pertengkaran antar saudara. Saya melakukannya dengan niat baik, tentu saja—karena saya ingin mereka merasa nyaman dan tidak terbebani. Tapi, di balik itu semua, saya mulai menyadari bahwa saya justru sedang menghalangi mereka belajar satu hal yang sangat penting dalam hidup: tanggung jawab. Semakin saya merenung, semakin saya sadar bahwa saya, sebagai orang tua, berperan besar dalam menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak-anak. Tanggung jawab bukan hanya soal membantu orang lai...

Marah yang Nggak Keluar, Tapi Mengendap

Catatan Ibu Tentang Emosi yang Disimpan Diam-diam. Beberapa hari yang lalu, aku duduk di pojokan dapur sambil peluk lutut. Anak-anak lagi pada ribut di ruang tengah, si kecil nangis karena kakaknya rebutan mainan, dan aku... Aku cuma diam. Bukan karena aku gak peduli. Tapi karena aku merasa terlalu lelah untuk bicara. Terlalu capek untuk marah. Padahal dalam hati, rasanya udah kayak gunung mau meletus. Dan malamnya, saat semua anak udah tidur, aku masih kepikiran. Kenapa ya akhir-akhir ini aku lebih sering diam? Padahal dalam kepala, suara-suara marah itu terus berdengung. Kadang gak keluar dalam kata-kata, tapi muncul dalam bentuk dingin, sinis, atau tatapan yang bikin anak-anak diam ketakutan. Aku tumbuh di lingkungan yang percaya bahwa marah itu harus ditekan. Bahwa ibu yang baik itu sabar, gak pernah teriak, gak pernah capek. Tapi setelah jadi ibu, aku sadar: itu ideal yang terlalu berat buat dijalani terus-menerus. Karena kenyataannya, aku juga manusia. Aku bisa kesel, capek, jenu...