“Udah, jangan digendong terus. Nanti manja.”
“Nangis sedikit, biarin aja. Biar belajar.”
“Nanti kebiasaan loh, nyariin terus…”
Kalimat-kalimat itu terdengar akrab. Bukan dari buku pengasuhan modern, tapi dari suara generasi yang tumbuh dalam situasi berbeda. Dulu mungkin bertahan hidup adalah prioritas utama, bukan perasaan anak.
Dan kini, ketika tangis kecil itu kembali terdengar di rumah—dari mulut si bungsu yang baru saja jatuh dari kursi atau kehilangan mainan favoritnya—kalimat-kalimat itu kadang masih menggema di kepala. Kadang dari luar, kadang dari dalam diri sendiri yang sedang kelelahan.
Tapi ada satu suara lagi, yang pelan tapi makin jelas sejak jadi ibu.
Suara hati.
Yang bilang, “Peluk saja dulu.”
---
Awalnya, aku juga ragu.
Takut terlalu lembek. Takut dianggap ‘ibu zaman now’ yang terlalu santai.
Tapi hari-hari bersama balita mengajarkanku satu hal penting:
Anak itu manusia, bukan proyek.
Ia punya emosi yang belum bisa disusun dalam kata. Punya kebutuhan yang belum bisa dijelaskan dengan logika. Yang dia tahu, ketika hatinya kacau, pelukan ibu adalah rumah.
Dan semakin sering aku memeluk di saat tangis datang, semakin aku sadar:
pelukan itu bukan memanjakan,
tapi menjembatani.
---
Pola asuh reflektif bukan soal menolak tradisi, tapi menimbangnya ulang dengan penuh kesadaran.
Bukan berarti nenek salah.
Hanya saja, hari ini kita punya lebih banyak pengetahuan, dan semoga juga lebih banyak ruang untuk mendengarkan intuisi.
Aku belajar bahwa tiap anak itu unik.
Dan sebagai ibu, aku juga sedang tumbuh.
Aku berhak percaya pada instingku,
sekaligus terbuka untuk terus belajar.
Jadi ketika anak tantrum di minimarket,
ketika dia rewel tak mau tidur siang,
ketika dia menolak makan padahal sudah waktunya— aku belajar untuk berhenti sejenak. Bukan langsung menyalahkan,
tapi bertanya dalam hati:
Apa yang dia butuhkan saat ini?
Apa yang bisa kulakukan agar dia merasa aman dan dimengerti?
Jawabannya seringkali sederhana.
Peluk saja dulu.
---
Dan di malam yang sunyi, saat rumah mulai tenang, aku suka merefleksikan satu hari yang penuh drama itu.
Bukan untuk menyesali, tapi untuk memahami. Bahwa mendampingi anak bukan soal benar atau salah, tapi soal hadir. Dengan utuh. Dengan hati.
Karena nanti, saat mereka sudah tak minta digendong lagi, saat mereka sudah memilih duduk jauh dari pelukan, aku ingin punya kenangan yang cukup— bahwa dulu, saat mereka kecil dan dunia terasa besar,
ada satu pelukan yang selalu bisa mereka cari.
Dan itu pelukanku.
Comments
Post a Comment