Pernah nggak sih, duduk sendiri di pojok kamar, habis marah, habis nangis, sambil mikir… “Ini bener nggak ya cara diriku mendidik anak-anak?” Sore itu, satu dari anak remajaku yang biasanya paling pendiam berani bantah. Nada suaranya naik, matanya penuh amarah, dan kalimatnya… menusuk. Padahal cuma karena diriku bilang, "Coba dikurangin dulu main HP-nya." Sesimpel itu. Tapi buat dia, itu kayak tamparan. Dan buat diriku… rasanya kayak ditinggal di tengah jalan. Kok bisa ya, anak yang dulu tiap malam minta dibacain dongeng, sekarang ngomong gitu? Malamnya, dia nggak tidur di kamar. Milih tidur di ruang tamu, pura-pura capek. Tapi matanya keliatan… basah. Dan diriku? Diam-diam cuma bisa duduk di sudut dapur, nangis. Nggak tahu harus mulai dari mana. Mau minta maaf, gengsi. Mau dinasehatin, takut makin jauh. Tapi satu kalimat muncul terus di kepala: "Kalau mereka salah, masihkah kita jadi tempat pulang?" Kita ini ibu, tapi bukan berarti nggak punya rasa kecewa. Apalagi ...
Waktu itu diriku lagi duduk santai di ruang tengah bareng anak sulung. Kami ngobrol soal kegiatan sekolah, lalu diriku nyeletuk, “Nak, kamu nggak mau ikut lomba menulis? Dulu Mama pengin banget jadi penulis, cuma nggak sempat kepegang. Siapa tahu kamu bisa nerusin…” Dia cuma senyum tipis. Matanya nggak semangat, tapi sopan banget buat nggak langsung nolak. Tapi dari ekspresi itu, diriku tahu: dia nggak tertarik. Dan rasanya langsung kayak disadarkan—kok ya tega banget nitipin mimpi yang belum selesai ke anak sendiri? Sebagai ibu dari tiga remaja, diriku makin sering ketemu momen-momen kayak gitu. Momen di mana ternyata, sebagai orang tua, kita bisa banget lupa batas antara mendampingi dan mengendalikan. Kadang niatnya tulus, pengin anak punya masa depan yang lebih baik. Tapi cara kita… sering kali tanpa sadar, justru menjadikan mereka perpanjangan tangan dari mimpi-mimpi kita yang gagal. Padahal mereka bukan kita. Mereka bukan versi mini dari diri kita. Mereka bukan ‘lembar baru’ buat ...