Skip to main content

Posts

Kalau Mereka Salah, Masihkah Kita Jadi Tempat Pulang?

Pernah nggak sih, duduk sendiri di pojok kamar, habis marah, habis nangis, sambil mikir… “Ini bener nggak ya cara diriku mendidik anak-anak?” Sore itu, satu dari anak remajaku yang biasanya paling pendiam berani bantah. Nada suaranya naik, matanya penuh amarah, dan kalimatnya… menusuk. Padahal cuma karena diriku bilang, "Coba dikurangin dulu main HP-nya." Sesimpel itu. Tapi buat dia, itu kayak tamparan. Dan buat diriku… rasanya kayak ditinggal di tengah jalan. Kok bisa ya, anak yang dulu tiap malam minta dibacain dongeng, sekarang ngomong gitu? Malamnya, dia nggak tidur di kamar. Milih tidur di ruang tamu, pura-pura capek. Tapi matanya keliatan… basah. Dan diriku? Diam-diam cuma bisa duduk di sudut dapur, nangis. Nggak tahu harus mulai dari mana. Mau minta maaf, gengsi. Mau dinasehatin, takut makin jauh. Tapi satu kalimat muncul terus di kepala: "Kalau mereka salah, masihkah kita jadi tempat pulang?" Kita ini ibu, tapi bukan berarti nggak punya rasa kecewa. Apalagi ...
Recent posts

Jangan Paksa Anak Remaja Jalani Mimpi Kita yang Gagal

Waktu itu diriku lagi duduk santai di ruang tengah bareng anak sulung. Kami ngobrol soal kegiatan sekolah, lalu diriku nyeletuk, “Nak, kamu nggak mau ikut lomba menulis? Dulu Mama pengin banget jadi penulis, cuma nggak sempat kepegang. Siapa tahu kamu bisa nerusin…” Dia cuma senyum tipis. Matanya nggak semangat, tapi sopan banget buat nggak langsung nolak. Tapi dari ekspresi itu, diriku tahu: dia nggak tertarik. Dan rasanya langsung kayak disadarkan—kok ya tega banget nitipin mimpi yang belum selesai ke anak sendiri? Sebagai ibu dari tiga remaja, diriku makin sering ketemu momen-momen kayak gitu. Momen di mana ternyata, sebagai orang tua, kita bisa banget lupa batas antara mendampingi dan mengendalikan. Kadang niatnya tulus, pengin anak punya masa depan yang lebih baik. Tapi cara kita… sering kali tanpa sadar, justru menjadikan mereka perpanjangan tangan dari mimpi-mimpi kita yang gagal. Padahal mereka bukan kita. Mereka bukan versi mini dari diri kita. Mereka bukan ‘lembar baru’ buat ...

Aku Berkarya, Mereka Belajar

Oleh: Seorang Ibu yang Berkarya dari Rumah Setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi, aku sudah berada di dapur. Menyiapkan sarapan, menyelesaikan cucian, merapikan rumah yang semalam sempat berantakan, dan tentu saja, menyambut tawa serta tangis anak-anakku. Hidup dalam rumah dengan lima anak, tiga remaja dan dua balita, membuat hari-hariku penuh ritme yang tak selalu bisa ditebak. Namun, di tengah riuh dan riweuh itu, ada satu hal yang tak pernah kulepas: niat untuk terus bertumbuh. Aku tak ingin hanya hadir sebagai ibu yang mengurus, tapi juga sebagai perempuan yang tetap berkarya. Karena aku percaya, ibu yang tumbuh akan membesarkan anak-anak yang juga tumbuh kuat. Tentu saja, bentuk karyaku tidak seperti para perempuan kantoran yang rapi dengan blazer. Tidak juga seperti content creator profesional yang bisa take video dengan studio proper. Karyaku sederhana—kadang berupa satu loyang kue putu ayu gula aren yang kubuat dengan sepenuh hati untuk dipesan tetangga. Kadang satu sesi re...

Bukan Karena Nggak Sayang, Tapi Lagi Nggak Kuat

Ada masanya dalam hidup seorang ibu… di mana tubuh masih jalan, mulut masih jawab “iya, Nak”, “sebentar ya”, “bentar Ibu selesain ini dulu”—tapi hati terasa kosong. Lelah. Penuh, tapi bukan dengan rasa bahagia. Melainkan dengan tekanan, tuntutan, dan ekspektasi yang nggak selesai-selesai. Itu juga yang sempat diriku alami. Sebagai ibu dari lima anak, yang tiga udah remaja dan dua masih balita, hidup tuh nggak pernah benar-benar sepi. Tiap jam ada aja yang harus dikerjain, dipikirin, ditangani. Belum lagi peran lain di luar rumah. Ngurus rumah baca, komunitas, jualan makanan rumahan, kadang jadi kurir wakaf, plus berusaha tetap membersamai anak-anak belajar sambil nyari rezeki buat bantu kebutuhan rumah. Dan di tengah semua itu, aku sempat ngerasa… kehilangan diriku sendiri. Awalnya kupikir, “Ini biasa aja, namanya juga ibu.” Tapi lama-lama, aku mulai sadar ada yang nggak beres. Aku gampang tersinggung. Hal kecil bisa bikin meledak. Nemenin anak belajar rasanya kayak nahan bom waktu. Ng...

Marah yang Nggak Keluar, Tapi Mengendap

Catatan Ibu Tentang Emosi yang Disimpan Diam-diam. Beberapa hari yang lalu, aku duduk di pojokan dapur sambil peluk lutut. Anak-anak lagi pada ribut di ruang tengah, si kecil nangis karena kakaknya rebutan mainan, dan aku... Aku cuma diam. Bukan karena aku gak peduli. Tapi karena aku merasa terlalu lelah untuk bicara. Terlalu capek untuk marah. Padahal dalam hati, rasanya udah kayak gunung mau meletus. Dan malamnya, saat semua anak udah tidur, aku masih kepikiran. Kenapa ya akhir-akhir ini aku lebih sering diam? Padahal dalam kepala, suara-suara marah itu terus berdengung. Kadang gak keluar dalam kata-kata, tapi muncul dalam bentuk dingin, sinis, atau tatapan yang bikin anak-anak diam ketakutan. Aku tumbuh di lingkungan yang percaya bahwa marah itu harus ditekan. Bahwa ibu yang baik itu sabar, gak pernah teriak, gak pernah capek. Tapi setelah jadi ibu, aku sadar: itu ideal yang terlalu berat buat dijalani terus-menerus. Karena kenyataannya, aku juga manusia. Aku bisa kesel, capek, jenu...

Remaja Itu Butuh Ruang, Tapi Tetap Butuh Dipeluk

Cerita Ibu yang Lagi Belajar Nggak Panikan Saat Anak Mulai Jaga Jarak. Dulu pas masih kecil, anakku itu nempel banget. Peluk-peluk, manjat-manjat, cerita dari A sampai Z bahkan soal semut di halaman pun dibahas. Kalau lagi nangis, tinggal gendong atau elus kepala, langsung reda. Tapi sekarang? Anak remajaku lebih banyak diem. Kalau pulang sekolah langsung masuk kamar. Kalau ditanya, jawabannya standar: “Gak apa-apa, Bu.” “Iya, capek aja.” “Bentar ya…” Dan di momen-momen kayak gitu, jujur... hatiku rasanya kyaakkkk... Kok kayak jauhan ya? Kok rasanya beda banget sama dulu? --- Awalnya aku panik. Merasa gagal jadi ibu. Langsung pengen nyamperin, nanya terus-terusan, bahkan ada niat ngecek HP (tapi batal karena sadar itu bukan solusi). Tapi makin ke sini, aku pelan-pelan belajar satu hal penting: anak remaja itu emang lagi butuh ruang. Mereka lagi penuh proses di dalam diri. Lagi belajar mengenal diri, mengelola emosi, sambil nyari-nyari jati diri. Dan tugas kita, para ibu, bukan buat nem...

Neneknya Bilang Jangan Dimanja, Tapi Hatiku Bilang Peluk Saja Dulu

“Udah, jangan digendong terus. Nanti manja.” “Nangis sedikit, biarin aja. Biar belajar.” “Nanti kebiasaan loh, nyariin terus…” Kalimat-kalimat itu terdengar akrab. Bukan dari buku pengasuhan modern, tapi dari suara generasi yang tumbuh dalam situasi berbeda. Dulu mungkin bertahan hidup adalah prioritas utama, bukan perasaan anak. Dan kini, ketika tangis kecil itu kembali terdengar di rumah—dari mulut si bungsu yang baru saja jatuh dari kursi atau kehilangan mainan favoritnya—kalimat-kalimat itu kadang masih menggema di kepala. Kadang dari luar, kadang dari dalam diri sendiri yang sedang kelelahan. Tapi ada satu suara lagi, yang pelan tapi makin jelas sejak jadi ibu. Suara hati. Yang bilang, “Peluk saja dulu.” --- Awalnya, aku juga ragu. Takut terlalu lembek. Takut dianggap ‘ibu zaman now’ yang terlalu santai. Tapi hari-hari bersama balita mengajarkanku satu hal penting: Anak itu manusia, bukan proyek. Ia punya emosi yang belum bisa disusun dalam kata. Punya kebutuhan yang belum bisa di...